Minggu, 01 Agustus 2021

Kreativitas dalam Seni

Karena wujud seni mencakup dua aspek, yakni nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik seni, maka segi kreativitas dalam seni harus ditinjau dari dua sudut tersebut, meskipun tak mungkin sama sekali memisahkan kedua aspek itu tanpa „merusak‟ kesatuan atau keutuhan karya seni. Hakikat kreativitas adalah menemukan sesuatu yang baru atau hubungan-hubungan baru dari sesuatu yang telah ada. Manusia menciptakan sesuatu bukan dari kekosongan. Manusia menciptakan sesuatu dari sesuatu yang telah ada sebelumnya. Setiap seniman menjadi kreatif dan besar karena bertolak dari bahan yang telah tercipta sebelumnya. Inilah yang biasa kita sebut tradisi. Setiap seniman bertolak dari tradisi seni tertentu yang hidup dalam suatu masyarakat. Seorang seniman bukan manusia yang „jatuh‟ dari angkasa dan mampu menciptakan karya seni tanpa dukungan karya seni yang tersedia dalam masyarakatnya. Kita menulis sajak karena pernah membaca sajak yang kita peroleh dari masyarakat kita. Kita melukis karena sebelumnya telah punya pengalaman melihat karya lukis. Begitu pula orang menciptakan musik, lakon teater, tari, dan sebagainya dari khazanah seni disekitar kita. Penciptaan karya seni bertolak dari sesuatu yang telah tersedia dalam masyarakatnya.


Persoalannya apakah kita mampu menciptakan karya seni yang tidak mirip atau serupa dengan karya seni yang telah ada dalam tradisi. Apakah kita mampu menciptakan karya seni yang baru yang belum pernah ada dalam tradisi. Saya kira itulah prinsipnya. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah aspek-aspek mana saja yang melibatkan kadar kebaruan itu. Semakin total pembaruannya semakin otentiklah ciptaannya.

Dorongan kreativitas sebenarnya berasal dari tradisi itu sendiri atau dari masyarakat lingkungannya. Setiap seniman dilahirkan dalam masyarakat tertentu dengan tradisi seni tertentu. Setiap seniman belajar berkesenian dari tradisi masyarakatnya. Tradisi seni atau budaya seni telah ada jauh sebelum seniman dilahirkan. Setiap karya yang merupakan kekayaan tradisi seni suatu masyarakat pada mulanya juga merupakan karya kreatif atau karya baru pada zamannya. Setiap khazanah tradisi seni merupakan kumpulan karya kreatif. Karya kreatif dari para seniman pendahulu ini sebenarnya juga merupakan hasil pergulatan seniman dengan berbagai persoalan budaya dan masyarakat pada zamannya. Setiap seniman yang kreatif adalah seniman yang peka dan tanggap terhadap lingkungan hidupnya, baik tradisi budayanya maupun kenyataan faktual lingkungannya. Kenyataan lingkungan manusia ini selalu berubah-ubah akibat perubahan yang disebabkan oleh kerja budaya (karya manusia) atau oleh sebab-sebab diluar budayanya.

Setiap seniman yang tanggap terhadap lingkungan budaya maupun kenyataan faktual masyarakatnya segera akan melihat kejanggalan yang muncul dalam kehidupan ini. Berbagai kejanggalan ini berhubungan dengan kaitan budaya dengan kenyataan faktual. Boleh jadi suatu budaya atau sikap hidup masyarakat sudah tak sesuai lagi dengan kenyataan faktual yang ada. Atau, seniman (juga golongan intelektual lain) tidak puas akan tradisi budayanya. Semua karya cipta manusia selalu mengarah pada nilai guna agar hidup ini berjalan semulus mungkin, sebahagia mungkin, sesejahtera mungkin. Maka, kalau terjadi kejanggalan, setiap intelektual selalu akan bertanya: dimana letak kesalahannya? Dan, lahirlah berbagai pemikiran untuk memecahkan atau menghilangkan kejanggalan hidup sosial itu. Kesalahannya mungkin terletak pada cara kita bersikap. Atau, mungkin cara kita bersikap sudah benar, hanya saja kenyataan faktual itu yang justru harus dirubah oleh budaya.

Orang yang mampu melahirkan sikap baru dan temuan baru untuk melenyapkan berbagai kejanggalan tersebut dapat disebut kreatif, meskipun caranya bersikap dipengaruhi atau bertolak dari sikap budaya yang telah tersedia dalam masyarakatnya. Kreativitas dapat ditujukan kepada tradisi budaya maupun kepada kenyataan faktual atau mungkin kedua-duanya.

Dalam kesenian, kreativitas dapat ditujukan pada kenyataan faktual yang diungkapkan karya seni lewat aspek ekstrinsiknya (moral, sosial, politik, ekonomi, teknologi, kejiwaan, dll) dan juga pada tradisi estetik seni itu sendiri. Misalnya, cara bersajak kaum pujangga baru dirasakan sudah tak sesuai lagi dengan kondisi faktual masyarakat pada zaman jepang dan revolusi, sehingga Khairil Anwar dkk, menciptakan cara baru bersajak yang lebih cocok dengan kondisi masyarakat yang sudah berubah. Dalam hal ini kondisi masyarakatlah yang telah berubah, sedangkan tradisi atau budaya bersajak masih tradisi zaman kolonial Belanda (Pujangga Baru tahun 1930-an). Disini lahir kreativitas terhadap aspek intrinsik seni bersajak, meskipun jelas aspek ekstrinsik ikut juga membentuknya. Tetapi, berbagai persoalan ekstrinsik, seperti persolan Tuhan, cinta, kemiskinan, semuanya ada, baik dalam puisi Pujangga Baru maupun Khairil Anwar. Dan persoalan ekstrinsik ternyata tetap terus ada sampai sekarang. Jadi, jasa Chairil terutama menonjol dalam bidang estetika, atau intrinsik seninya.

Setiap generasi seniman mengalami zamannya sendiri. Cara bersajak Chairil pada tahun 1940-an mungkin sudah tak sesuai lagi untuk menjawab tantangan zaman pada tahun 1970-an atau 1990-an ini. Maka, sudah selayaknya setiap generasi mempertanyakan persoalan atau kejanggalan masyarakatnya. Apakah kenyataan- kenyataan pada tahun 1970-an masih dapat dijawab dengan „tradisi Chairil‟? Apakah kenyataan sekarang ini bisa dijawab dengan estetika tahun 1940-an? Atau apakah estetika Chairil itu yang memang abadi dan mampu melewati semua zaman? Inilah pertanyaan bagi para ahli sejarah atau kritikus sastra.

Pada dasarnya setiap seniman adalah juga orang intelektual dalam tingkat apa pun, karena setiap seniman mencipta berdasarkan tanggapannya terhadap lingkungan budaya maupun lingkungan faktual. Setiap seniman juga mencipta bukan sekedar memenuhi hasrat estetikanya belaka, tetapi karena didorong oleh lahirnya berbagai kejanggalan dalam hidup lingkungannya. Aneka kejanggalan itu membuatnya sesak. Membuatnya gagal untuk berucap. Dan, karena jiwanya gagal, ia menggaruknya lewat karya seninya. Karya seni itu merupakan usaha menjawab atau menanggapi kejanggalan hidup zamannya. Jadi, titik tolak kreativitas adalah justru hal-hal yang sifatnya ekstrinsik seni. Persoalan ekstrinsik dicoba dijawab dengan ucapan otonomi seni, yakni aspek intrinsik seni. Dan, karena setiap ekstrinsik bersifat khas dan khusus untuk setiap zaman, akan ditemukan pula cara atau estetika pengucapannya. Saya kira tidak ada seniman yang hanya main-main saja dengan aspek intrinsik seni tanpa peduli pada aspek ekstrinsiknya. Memang pernah muncul semboyan „seni untuk seni‟, tetapi sisitu bukan usaha main-main dengan medium seni belaka. Disitu tetap ada pegangan bahwa yang indah itu segalanya, termasuk nilai moralnya. Yang indah itu tentu baik. Jadi, secar implisit mengacu juga pada aspek ekstrinsik, yakni moralitas manusia.

Dalam sejarah seni sering kita jumpai bahwa temuan baru dalam aspek intrinsik seni (estetik) disebabkan oleh adanya temuan aspek ekstrinsik. Gaya sastra yang disebut „arus kesadaran‟, yakni cara bercerita dalam fiksi yang campur aduk antara khayalan dan kenyataan, sekarang dan masa lampau, yang pernah terjadi dan mungkin terjadi, muncul saat ditemukannya ilmu jiwa Freud tentang kesadaran manusia. Psikologi dapat membimbing lahirnya cara bercerita dalam novel dan cerita pendek (estetika). Jelas bahwa kreativitas dalam seni bukan sekedar main-main dengan medium seni tanpa tuntunan pandangan mendalam yang baru terhadap kenyataan. Berfilsafat, berpandangan hidup secara mendalam, dapat menuntun pada lahirnya kreativitas dalam estetika (aspek intrinsik seni). Kreativitas dalam seni, seperti halnya kreativitas dalam bidang apa pun, adalah sikap baru yang mendalam terhadap kenyataan kehidupan ini. Kalu cara memandang hidup ini berubah, kenyataan faktual pun kita lihat dalam „cahaya‟ yang baru. Dan ini akan menuntut ditemukannya cara pengucapan baru dalam seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar